Rabu, 22 Oktober 2008

Pengemis Masalah Kita Semua

Keinginan untuk menulis soal pengemis menguat, dengan adanya berita soal penyekapan anak oleh orangtua sendiri akibat tidak mau dipaksa untuk bekerja sebagai " pengemis ", Tribun (22/10).
Sejak pertama kali di Batam pada Mei 1998, pemandangan pengemis di simpang jalan nyaris tidak pernah ada. Keberadaan mereka lebih banyak pada pujasera atau pertokoan dengan penampilan tanpa melibatkan bayi atau anak kecil seperti saat ini untuk menimbulkan kesan iba.
Saat ini, keberadaan pengemis sudah semakin mengganggu dan mengurangi pemandangan dengan kehadiran mereka pada simpang - simpang jalan seperti Simpang Jam, Simpang dekat UIB, Simpang Baloi, Sungai Panas Batam Center serta dekat Mc Donald Jodoh.
Dari sisi pengemis, membawa anak dibawah umur jelas telah mentelantarkan mereka(bayi/anak yang dibawa ) dari segi fisik akibat panas, hujan, polusi kendaraan. Hal yang menarik adalah ada pola musim para pengemis itu dengan lokasi yang berbeda. Seperti halnya saat puasa kemarin, pada simpang jam senantiasa pada pagi hari kita jumpai wanita paruh umur yang mengemis.
Sejak senin (20/10) kemarin seiring perjalanan menuju kantor, pemandangan tersebut sudah mulai berkurang, tidak ada lagi keberadaannya. Bisa jadi yang bersangkutan kembali ke kampung atau pindah lokasi untuk menimbulkan kesan baru pada lokasi yang tentu baru juga.
Departemen Sosial pusat pun juga gerah dengan keberadaan pengemis tersebut, pola pelatihan untuk memberikan ketrampilan tidak juga memberikan hasil yang nyata untuk mengurangi jumlah pengemis di Jakarta. Demikian juga pihak Dinas Sosial Batam yang melakukan razzia dan memberikan bimbingan mental masih saja belum cukup untuk mengurangi populasi pengemis di Batam.
Harus disadari bahwa keberadaan pengemis akibat krisis ekonomi serta tidak dipungkiri dari beberapa pertimbangan seperti mentalitas serta adanya oknum yang sengaja memanfaatkan pengemis tersebut menjadi sebuah " pekerjaan ".
Mengingat pengemis sudah merupakan masalah kita juga, ada baiknya semua pihak ikut berperan serta dalam meminimalisir keberadaannya. Bisa saja peran masyarakat untuk tidak memberikan " sedekah " pada tempat - tempat yang dianggap mengganggu lalu lintas.
Bisa saja sedekah diberikan kepada panti sosial yang ada di Batam. bila saja pemberian ini bisa dikurangi, secara otomatis akan berpengaruh terhadap jumlah pengemis yang tentunya tidak akan tahan berlama-lama bila " mata pencaharian " yang selama ini bisa mereka peroleh berkisar 100 - 200 ribu semakin berkurang.
Seperti disampaikan oleh Dinsos Batam, bahwa keberadaan pengemis tersebut sebagian besar bukan penduduk Batam sudah tentu bagi masyarakat Batam ikut berperan dalam mencerminkan Batam bersih ( berkurang ) dari keberadaan pengemis.
Dengan kerjasama semua pihak baik itu LSM, masyarakat dan pemerintah , kemungkinan besar pengemis di Batam bisa diminimalisir, paling tidak lokasi nya tidak lagi beroperasi pada simpang - simpang jalan, selain mengganggu pemandangan juga kekawatiran adanya gangguan lalu lintas...

Kamis, 16 Oktober 2008

Menimang Para Caleg Batam

Tidak lama lagi tepatnya tanggal 9 April 2009, kita akan melakukan Pemilu yang memilih para anggota dewan dari kota, propinsi, pusat dan DPD. Hiruk pikuk kampanye dan juga dampak yang akan timbul sudah tentu harus secepatnya disikapi oleh semua pihak mulai dari para caleg, masyarakat pemilih, aparat sampai pada KPUD yang bertanggung jawab terhadap penghitungan suara nantinya.
Bisa dibayangkan nantinya dari sembilan ratus lebih caleg untuk DPRD Batam berebut untuk meraih kursi sebanyak 45 buah dari613.510 pemilih yang ada. Kalau dibagi saja untuk dapat kursi butuh suara 18 ribuan suara, itu kalau seluruhnya pemilih hadir menyalurkan suaranya.
Sementara persaingan diantara mereka saja, 1:20 sebuah persaingan yang maha ketat dan butuh perjuangan yang sangat melelahkan. Belum lagi salah satu aturan dalam PEMILU kali ini hanya nama yang dicantumkan dalam kertas suara.
Lalu terbersit dalam pikiran kita, sudah siap belum, para caleg nantinya bila mengalami sebuah kekalahan ? tidak terpilih maksudnya.Biaya untuk menjadi caleg saja konon ada yang ratusan juta dan puluhan juta sebuah nilai yang saat ini sulit untuk dapat mencari dalam kurun waktu yang singkat.
Masyarakat saat ini juga sudah semakin cerdas dengan memilih yang sesuai dengan nurani serta melihat track record dari para caleg yang nantinya akan dipilih.Persaingan tingkat Dapil(Daerah Pilihan ) saja sudah begitu kentara, bercokolnya para ketua DPC partai pada satu Dapil itu sudah merupakan persaingan, belum lagi masing - masing Dapil paling mungkin terwakili 11-12 orang saja.

Senin, 13 Oktober 2008

Antara Macet, Nyawa dan Motor

Lebaran jalur darat lintas Utara maupun Selatan Solo - Jakarta macet itu sudah hal yang biasa. Dalam benak pikiran saya akan terjadi macet sudah terbayang begitu lepas dari Madiun usai mengikuti reuni SMA 1 Madiun angkatan 81. Lepas pukul 14.00 WIB, saya diantar temen Bandono untuk mencari bis jurusan Madiun- Solo, sengaja tidak ke terminal melainkan langsung ke daerah Jiwan yang merupakan wilayah dari Kota Madiun dengan pertimbangan lebih deket serta dimungkinkan untuk tidak antri panjang .
Sambil pamitan, salah seorang temen Eric namanya menyampaikan sebuah SMS yang menyebutkan bahwa Ngawi sedang macet. Kebayang ketinggalan bis jurusan Solo - Jakarta sudah masuk dalam benak pikiran. " Dicoba saja dulu Ric, demikian saya menjawab menanggapi SMS tersebut. Dalam hati, mungkin ini upaya temen - temen untuk bisa menahan saya lebih lama untuk ngobrol, maklum sudah 27 tahun lama tidak ketemu, tentu butuh ngobrol dan cerita masa indah SMA dulu.
Langkah kanan pikir saya, begitu turun dari mobil Bandono langsung ada bis jurusan Solo. Perjalanan siang yang panas dan bis tanpa AC menambah gerah badan memulai perjalanan balik ke Jakarta untuk ketemu keluarga. menempati tempat duduk di tengah dan secara kebetulam berdampingan dengan penumpang asal Solo yang bekerja di Madiun.
Berita tentang macet di daerah Ngawi atau kira- kira 40 Km dari Madiun sementara tidak terbukti, bis yang saya tumpangi lancar dan tanpa terasa telah sampai Ngawi, tempat dimana saya di lahirkan 46 tahun yang lalu. Hal yang menggembirakan adalah istri bupati Ngawi yang sekarang adalah suami Antiek temen se angkatan SMA 1 Madiun 27 tahun yang lalu.
Kemacetan bisa saja tidak terasa akibat asyik ngobrol dan kondisi macet tidak seperti yang digambarkan dalam berita lewat televisi swasta tadi pagi, artinya kendaraaan macet berjam - jam seperti di daerah Indramayu deket Cirebon. Singkatnya, sampai di terminal Solo, perjalanan ke agen bis Lorena Solo dengan naik becak yang ditempuh dalam waktu 15 menit saja.
Tertera dalam tiket, jadwal bis Lorena jurusan Solo - Jakarta pukul 18.00 Wib berangkat dari Solo. Tanda - tanda kemacetan mulai terbayang, keinginan mandi ditunda dengan pertimbangan kawatir tidak cukup waktu. Maka dicoba mengisi perut dengan makan pada salah satu rumah makan terdekat agen bis Lorena Solo tersebut.
Singkat waktu, pukul 20.00 Wib, bis meluncur menuju Jakarta, kecepetan sedang karena masih dalam wilayah perkotaan, namun suasana macet mulai terasa ketika masuk wilayah Purworejo. Bis lebih banyak berhenti daripada jalannya, kemacetan lebih diakibatkan jalan tidak sanggup menampung kendaraan yang melintasi jalan tersebut.
Jumlah motor hampir separuh badan jalan, selain sulit untuk bergerak bagi kendaraan roda empat, pantas saja sopir kami sempat meliuk liukan bis yang dikemudikannya akibat rasa jengkel rombongan motor yang mengganggu dan menghalangi perjalanan.
Macet menjadikan pikiran dan perut mulai bernyanyi, sopir tidak berani mengajak mampir untuk makan, menurutnya sekali kita berhenti, maka akan jauh lebih panjang lagi antrian kendaraan yang berjalan secara pelan dan macet tersebut.
Kondisi tersebut menjadikan beberapa penumpang mulai gerah dan mual, anak - anak kecil juga tidak ketinggalan. Rasa syukur kepikir karena sebelum berangkat tadi sempat mengisi bahan bakar terlebih dahulu, untuk sementara waktu kondisi tubuh saya masih laik untuk terlambat makan.
Hiburan yang bisa saya nikmati adalah SMS dan buka Website lewat HP 9300, tertarik ketika membaca sebuah berita tentang tabrakan para pemudik yang menikmati perjalanan dengan sepeda motor. Dalam pikiran terbersit, keinginan irit namun tidak memikirkan keselamatan.
Bayangkan saja, Jarak Madiun - Jakarta sejauh tujuh ratusan KM mampu mereka tempuh selama 24 jam non stop, sementara bis saja yang lebih besar memakai jasa dengan adanya 2 orang sopir. Pemerintah sudah saatnya mengatur arus mudik dengan mempertimbangkan jarak serta kendaraan yang digunakan. Penggunaan sepeda motor untuk jarak jauh sudah harus mulai diatur agar korban jiwa akibat aeus mudik lewat motor bisa dikurangi.
Kami baru bisa makan pada pukul empat pagi pada salah satu restoran di Gombong, bayangkan saja jarak Solo Gombong yang bisa ditempuh dalam waktu 4 jam normal harus ditempuh selama dua kali lipat dari waktu biasa atau 8 jam. Kepikir kejadian yang sama akan terulang lagi untuk perjalanan berikutnya, selain menyempatkan diri makan dan sholat juga sedikit membawa bekal cukup untuk kemungkinan nanti tidak mampir lagi.
Minggu tanggal 5 Oktober tepat hari bersejarah Hari ABRI ternyata membawa kisah tidak terlupakan dengan kondisi macet yang amat macet. Gombong - Purwokerto saja yang bisa ditempuh sejam kali ini lama banget dan memakan waktu 5 jam, sebuah kondisi yang amat jauh seperti ketika masih kuliah pada Fakultas Peternakan Unsoed.
Perjalanan macet memang sulit untuk dinikmati kecuali bagi yang bisa tidur dan juga ngobrol. Saya mencoba untuk ngobrol, namun tetap juga tidak bisa mengusir jenuh serta penat. Daerah Gombong, Karanganyar, Kebumen, Purwokerto merupakan waialayh yang dulu menjadi daerah saya jalan ketika kuliah di Unsoed tahun 1981- 1986.
Kondisi sekarang sedang tidak nyaman, seumur - umur macet selama 30 jam antara Solo _ jakarta menjadi kenangan yang berbanding terbalik antara perjalanan menuju Madiun dan pulang dari Madiun yang tujuan akhir adalah Jakarta.
Bis baru kembali berhenti untuk makan pukul 15.30 di daerah Indramayu, kemacetan tetap terus membayangi dan baru bisa lega begitu masuk tol cikampek, dan akhirnya daerah lebak bulus ( Jakarta Selatan ) begitu jarum jam menunjukkan waktu 00.30 Wib.
Sampai di rumah kakak yang berlakasi di Pondok Cabe pukul 01.00, masih berrsyukur kendati harus berlama dengan bis 30 jam perjalanan Solo - Jakarta namun masih juga ada yang bisa dikenang dan menunggu jawaban pemerintah menanggapi kemacetan yang sudah lewat ambang penantian

Nambang Lebaran


Lebaran hari kemenangan, anak - anak pun bisa menikmati sambil silahturahmi. Istilah "nambang" sangat kental untuk mereka. Demikian pula dengan si bungsu Icha ketika usai silahturahmi halal bihalal dengan walikota Batam di Asrama Haji Batam Center.
Nambang biasa digunakan bagi para sopir atau pengojek ketika mencari nafkah, namun nambang yang dimaksud anak saya yang berumur 6 tahun tersebut adalah upaya yang mereka lakukan dengan berkunjung ke tetangga bermaaf- maafan dalam rangka berlebaran dan dibalik itu ada " ang paow" yang diberikan oleh pihak tuan rumah bagi anak - anak.
Nilai uang tidak begitu penting bagi Bungsu daro tiga bersaudara tersebut, namun kebersamaan dengan rekan - rekan sebaya dana nambang menjadikan cerita yang cukup menarik. Mulai tas kecil untuk menyimpan uang sampai pada upaya memilih rumah yang dimungkinkan untuk mendapatkan ang paow.
Menariknya lagi, anak sekarang sudah mulai kritis menilai seseorang dalam menerima kehadiran mereka ke rumah, ada yang dibilang pelit ( maaf), malah ada yang mereka komentari dengan sebutan cumi hee, cuma memberi minuman saja.
Memang , dari anak - anak yang nambang tidak seluruhnya berasal dari lingkungan sekitar kita. Bahkan untuk menjangkau rumah yang mereka kunjungi, mereka sanggup berjalan kaki dan itu tidak dirasa karena dilakukan beramai - ramai, atau secara berkelompok.
Lain lagi cerita Icha ketika mencoba menghitung hasil nambangnya. Kata si bungsu, " enak kalau diajak halal bihalal sama orangtua, ang paow yang diterima biasanya lebih besar bila dibanding dengan ketika dilakukan bersama teman - teman sebaya.
Untuk mensikapi anak - anak nambang, saya sendiri sudah menyiapkan dengan pecahan uang rupiah, mulai dari seribuan sampai dengan sepuluh ribuan. Isi ang paow pun diibaratkan dengan route angkutan, besarnya tergantung dari dikenal tidaknya si anak semacam jauh dekatnya.
Hati - hati bagi orangtua yang anaknya sedang namabang, jangan dibiarkan begitu saja. Walau pun di lingkungan RT, tetap harus di monitor, pengalaman menunjukan adanya anak tetangga yang dipalak( diminta paksa) oleh anak yang secara fisik lebih besar.
Sebenarnya, ang paow lebaran sudah umum terjadi, bahkan ketika saya masih kecil sering berebut mengantar kue ketika sehari menjelang lebaran. Tuker menukar kue di kampung merupakan hal yang biasa dilakukan, biasanya bagi anak yang mengantar akan diberikan uang sebagi wujud perhatian.
Bedanya, nambang sekarang benar sesuai dengan kata yang tersirat, dapatnya pun menyenangkan bagi anak - anak se usia Icha.... selamat hari Raya Mohon maaf Lahir dan Batain 1 Syawal 1429 H....